Skip to Content
Aryo
Diponegoro
Perasaan yang Sangat Ajaib Kosongnya
#SeriSeru aryodiponegoro / March 24, 2021

Cerpen Mohammad Diponegoro

Ia tidak pernah menduga bahwa di usia tujuh puluh tahun orang bisa juga tergejolakhatinya. Betapa jari-jarinya yang berkeriput itu kini menggigil ketika meraba kulit pipinya yang berbedak. Semua rasanya menggelepar oleh gempa perasaan yang ganjil. Seandainya ia masih gadis belia yang pertama kali bertemu lelaki, barangkali ia pun takkan begitu terguncang juga seperti sekarang. Perasaan ini begitu asing, tidak seperti ketika dahulu ia dipinang oleh Rudolf Jansen, ia tahu ketika kemudian ia menikah untuk kedua kalinya dengan dokter muda Sukarna. Tempat yang istimewa dalam hatinya telah disita oleh lelaki yang dicintainya pagi ini. Itulah mengapa ia sekarang begitu menggelepar.

Perempuan tua itu kini melihat wajahnya di dalam cermin. Bulat telur dan kelihatancantik, kendati usianya yang tua itu tak bisa terkibas betapa juga ia mencoba bersolek. Sekiranya aku mau, aku masih bisa menikah sekali dua kali lagi, pikirnya. Berapa umurku sekarang? Ia mencoba menipu diri sendiri. Perempuan tua itu tersenyum di depan cermin. Diam- diam ia berharap lelaki istimewa itu akan seketika jatuh cinta padanya dengan cara tersendiri bila melihatnya dengan dandanan begini. Itulah idamannya dan itulah yang ditakutkannya bila tak terjadi. Masa panjang yang tenggelam mudah sekali menghangus kenangan dan perasaan. Apakah lelaki itu masih ingat ketika dahulu ia memeluk dan menciumnya?

Sebentarlagiiasudahakanselesaiberhias,tinggalmemolesbibir.Perempuantuaituragu-ragu untuk mengeluarkan pemerah bibir dari dompetnya. Seminggu lewat ia membeli barang itu dengan sembunyi-sembunyi. Kepada gadis penjual di toko ia mengaku ingin membeli pemerah bibir berwarna merah jambu untuk cucunya yang akan menikah. Lima ratus rupiah, begitu mahal, pikirnya. Tetapi, berapakah uang sebanyak itu untuk hadiah seorang pengantin? Ia pun membayar dan cepat-cepat barang itu disimpannya dalam dompet yang selalu dibawanya ke mana pun ia pergi. Apa kata Inem, pembantunya yang tiap pagi membenahi kamar tidur, seandainya menemukan pemerah bibir itu? Perempuan tua itu kini mencoba memoles bibirnya yang kering. Empat puluh tahun yang lalu terakhir kali ia menggunakan pemerah bibir semacam itu. Betapa kikuk dan asing dan lucu sekarang rasanya!

Inem! Inem!” tiba-tiba ia berseru. Ia menjadi gugup ketika langkah kaki menyibakkerakai di depan rumah. “Coba kau tengok apa ada tamu.”

Perempuantuaitumemasangtelingalebihtajam.Iamengetahuidarikebiasaan,bahwaInem dengan diam-diam akan mematuhi perintahnya, buru-buru ke kamar depan dan membukakan pintu. Ia kemudian mendengar pintu berderit, tetapi segalanya lalu sepi. Seantero rumah bagaikan menyimak, adakah yang memberi salam, siapa yang berkata-kata? Namun, tak ada percakapan. Lelaki istimewa itu belum juga datang. Si perempuan tua menghela napas ketika mendengar Inem kembali mengunci pintu. Ia kecewa. Betapa ganjilnya harapan-harapan telah mengguncangkan hatinya dan membuatnya peka pada suara yang tak pernah ada.

Ya,ya,akusudahtahu,tamunyabelumdatang,”katanyaketikaInemmunculdipintukamar tidurnya. “Sekarang siapkan saja minuman dan makanan yang tadi kubeli. Jangan lupa, pakai gelas dan piring yang baru. Di lemari.”

Inem seketika menghilang tanpa mengucapkan sesuatu dan perempuan tua itu curiga,bahwa pelayannya itu tadi sempat melihat warna merah jambu pada bibirnya. Ia tersenyum di dalam cermin. Ia senang pada Inem yang sudah lebih dari sepuluh tahun membantunya, yakni sejak dokter Sukarna meninggal. Bagaimana mungkin ia bisa hidup tanpa Inem? Perkawinannya dengan dokter itu tidak melahirkan anak seorang pun. Mereka pernah mengangkat anak seorang yatim, tetapi setelah dewasa gadis itu menikah dan tinggal bersama suaminya di Samarinda. Sekali sebulan, datang surat dari anak angkatnya, hanya pendek-pendek dan akhirnya tak pernah ada yang kunjung. Barangkali anak angkatnya sudah wafat dan si suami tidak merasa berutang budi untuk membalasnya dengan mengirim kabar kematian. Orang memang mudah lupa pada jasa orang lain. Dan, siapa yang peduli pada janda tua seperti dia? Barangkali Inem saja yang peduli. Itulah sebabnya, ia senang pada Inem. Inem menyusup dalam hidupnya ketika ia justru membutuhkan seorang seperti Inem. Harta peninggalan dokter Sukarna sudah disumbangkan pada rumah sakit dan rumah yatim. Janda itu menempati rumah satu-satunya warisan suaminya yang tidak dijual, hidup dari menjajakan makanan yang dimasaknya sendiri. Bubur kacang hijau yang dibumbui ekor dan kaki kambing. Dengan sebuah rantang tiap pagi dan sore ia mengantar sendiri bubur kacang hijau itu ke rumah kenalan dan sahabat suaminya. Ia mengerti mereka biasanya membeli karena belas kasihan padanya. Namun, itu tak disukainya.

Jikakautakmemerlukan,takusahlahmembeli,biasanyaiaberkata.Akuhanyaingin sering berkunjung ke rumahmu. Hidup menyendiri tidak baik. Jika aku punya kawan banyak, mengapa tak kujenguk mereka? Kematian suamiku tak perlu memutuskan silaturahmi kita, bukan?” Lalu kadang ia menambahkan, “Dan, ini masakan sehat, kegemaran suamiku juga.”

Siapa mampu mengelak dari perasaan begitu mulus dan tulus? Biasanya merekamembayar lebih dari harga yang sebenarnya. Dan, janda tua itu merasa telah menemukan cara menghabiskan sisa umurnya di dunia. Kesunyian hidupnya menjadi cair oleh percakapan pendek dengan mereka. Betapa senang hidup di dunia dengan banyak sahabat! Seandainya tidak ada Inem yang pendiam, penurut, dan penuh pengertian, barangkali takkan bisa menikmati hidupnya pada umur lanjut seperti sekarang.

IatidaklagimenghiraukanapakahInembenarmelihatiasedangbersolekdenganbibirmerah jambu. Semuanya sudah jadi lain sekarang, Inem pun boleh tahu, bahwa siapa pun takkan pernah melihat seorang ibu tua secantik dia pagi itu. Sekali lagi ia tersenyum di dalam cermin, lalu mengenakan kerudung voile di atas kepalanya.

Ketika sebuah mobil terdengar berhenti di depan rumahnya, gejolak hatinya tiba-tibabangkit tanpa memberi tanda.

Inem!”iaberseru. Suaranya ganjil,perasaannya ganjil.

Buru-buruiabangkitdarikursidanpergisendirikekamardepanlaluberdiridibelakangkaca pintu. Ia melihat semua yang terjadi di luar. Sebuah mobil hitam, lalu seorang lelaki turun dari dalamnya. Frits! Janda itu berseru. Frits? Tentu saja ia takkan lagi mengenal Frits. Frits tentu sudah banyak berubah dalam sekian banyak tahun. Rambutnya dan matanya hitam, hidungnya besar, dan dagunya agak runcing. Tubuhnya sejangkung orang Belanda, tapi sama sekali ia mewarisi wajah ayahnya.

Lelakiitusudahberdirididepanpintuketikasekonyong-konyongpintuterbuka.Jandaitu tidak menanti lebih lama, menerbangkan tubuhnya yang ringkih dan memeluk lelaki Belanda di depannya, mencoba mencium pipinya, dagunya, dadanya, lengannya.

Frits! Frits! Ia membaurkan nama itu dalam kata-katanya yang tak menentu dan tak jelasoleh tangis. Berbagi perasaan berkerumun berdesak dalam hatinya, membuai-buai. Perasaan rindu yang dahulu pernah mati dalam keputusasaan yang bertahun-tahun kini meraih puncaknya. Mula-mula kerinduan itu lahir kembali dua minggu yang lewat, ketika surat Sasmita tiba dari Maastrich. Sasmita, kemenakan dokter Sukarna telah menemukan Frits, anak Rudolf Jansen, di negeri Belanda. Lama barulah Frits dapat diyakinkan oleh Sasmita, bahwa Ibunya seorang perempuan Indonesia bernama Salimah, masih hidup. Frits lalu memutuskan terbang ke Indonesia menjumpai ibunya. Dan, tiga hari yang lalu sebuah telegram menyusul dari Jakarta, bahwa Frits sudah tiba di sana dan hari ini akan terbang ke Yogyakarta. Dan, inilah Frits.

JandaSalimahmasihjugamemeluklelakiBelandaitu,erat-erat,sepertilimapuluhtahunyang silam ketika Rudolf Jansen harus kembali ke Negeri Belanda dengan membawa bayinya. Salimah tidak bisa ikut karena harus menunggui ibunya yang tua dan baru saja ditinggal mati ayahnya. Tidak adil, mula-mula Salimah berpikir, bahwa ia tidak boleh berpisah dengan ibunya, tapi harus melepaskan anak yang dilahirkannya sendiri. Namun, Rudolf memutuskan, bahwa Salimah boleh menyusul setelah keadaan mengizinkan, yakni tetntu saja bila ibu Salimah sudah meninggal. Lalu kapal pun bertolak dari Tanjung Priok membawa Frits. Apa yang kemudian terjadi lepas membersit dari batas keinginan manusia.

Lelaki Belanda itu kelihatan kikuk dan gugup dalam pelukan Salimah dan mencoba untukberkata. Tetapi, Salimah menyuruhnya diam.

Jangan,Frits,janganberkataapaapa,katanya.Biarkanakumerasakanapayang selama ini telah hilang. Lima puluh tahun waktu yang panjang, Frits. Dulu kau masih kecil waktu kupeluk dan kucium di pelabuhan. Itulah terakhir yang kulakukan. Karena itu, sekarang diamlah, biarkan aku memelukmu seperti dulu. Ya, Allah, ini anakku. Satu-satunya anakku. Kau telah mengembalikannya padaku.”

TanganSalimahmeraba-rabatubuhlelakiBelandaitu,seakan-akanseorangbutayangingin menyidik apa yang sedang dipegangnya. Jari-jarinya yang menggigil membelai rambut lelaki itu, pipinya, telinganya, kuduknya. Lalu tiba-tiba ia menarik diri. Bibirnya yang merah jambu menggigil. Sekaranga ia berdiri di depan lelaki itu dan menatapnya dengan ganjil. Lelaki itu menangkap kekakuan yang tiba-tiba menyekap. Bagaimanapun, apa yang dilakukannya sejak tadi tidak sewajarnya yang dikerjakan seorang anak yang bertemu dengan ibu kandungnya setelah begitu lama terpisah. Tadi ia hanya diam membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi perempuan itu tanpa berbuat sesuatu. Apakah Frits akan bersikap demikian kendati hampir selama hidupnya tak pernah mengenal ibunya? Lelaki Belanda itu tiba-tiba memegang tangan Salimah dan mencoba mencium pipinya. Ia harus berbuat begitu demi kebahagiaan seorang ibu yang tua. Tetapi, Salimah mengelak dan surut.

Tunggu!”katanya.“Apakahkaupernahdioperasi?”

Operasi?”suaraorangBelandaitukedengarandungu.“Tidak.”“Ayahmu pernah bilang kau dioperasi?”

Ayahsaya?Tidak.Apayangharusdioperasi?”

Padawaktubayidikudukanakkuadatahilalatyangmenonjol.Akutidakmenemukannya di kudukmu.”

KabutkeraguanmenguapdanlelakiBelandaitumengerti,bahwaiabolehlagimenundakeperluan sebenarnya ia datang ke Yogyakarta dari Jakarta. Ia melihat Salimah duduk di kursi, lalu ia pun berjongkok di depannya.

Dengarkan,MakSalimah,”katanya.

Kaubukananakku,”suaratuaitumenggigildanmengerikan,“DimanaFrits?DimanaFrits Jansen, anakku?”

LelakiBelandaituharusmembenahkankerongkongannya,kemudiandengansangathati

-hati ia berkata, begitu jernih, begitu jelas. “Dengarkan, Mak Salimah. Memang saya bukan Frits.Saya sahabatnya, sudah beberapa tahun bekerja di Jakarta. Sebenarnya saya akan mengirim telegram kemari. Tiga hari yang lalu Frits mendarat di Kemayoran. Sedianya hari ini ia terbang kemari. Tetapi, kemarin sore mobil yang ditumpanginya menabrak sebuah truk di Jakarta. Frits meninggal di rumah sakit. Seharusnya saya sudah mengatakan sejak tadi, tetapi Mak Salimah tidak memberi kesempatan saya bicara.”

Sebuah bangunan yang gagah runtuh dalam hati ibu tua itu. Pertama kali dalamhidupnya ia menghayati perasaan yang sangat ajaib kosongnya.***

Kompas,3Februari1976

MohammadDiponegorolahirdiYogyakarta,28Juni1928meninggal9Mei1982.Menyelesaikan sekolah di Universitas Gadjah Mada, Fakultas H.E.S.P. jurusan ekonomi. Ia merupakan seorang penulis cerpen, drama, puisi, dan esai. Ia terkenal karena usahanya mempuitisasikan al-qur’an. Karya-karya puitisasinya dimuat dalam majalah Gema Islam, Horison, Indonesia, Media, dan Suara Muhammadiyah. Cerpen Perasaan yang Sangat Ajaib Kosongnya ditik ulang dari buku Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980.

Terima kasih telah membaca artikel saya. Silahkan share bila bermanfaat. Sebarkan kepada orang-orang yang Anda sayangi. Anda juga dapat bergabung Channel Telegram Rapid Marketing Strategy di http://t.me/SinauMarketing dan Channel Telegram Strategi Membeli Rumah Pertama dan Investasi Properti di http://t.me/SinauProperti . Pastikan Anda terkoneksi dengan aplikasi Telegram.

Comments
No comments yet, take the initiative.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ARYO DIPONEGORO © 2023